Pada Selasa, 29 Juli 2025 yang lalu, Pemerintah Kabupaten Tabalong melalui Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) telah melaksanakan kegiatan Diseminasi Kajian Kemiskinan Kabupaten Tabalong Tahun 2025. Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Ismail Abdullah Lantai 3 Bapperida dan dihadiri oleh perwakilan perangkat daerah, akademisi, serta stakeholder pembangunan lainnya. Acara ini menghadirkan narasumber dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, yakni Dr. Muzdalifah, S.E., M.Si, Hidayatullah Muttaqin, S.E., M.S.I., P.G.D, dan Haifa Lestari, S.Pd., M.E.K, yang memaparkan dua kajian utama: Profil Kemiskinan Kabupaten Tabalong dan Identifikasi Masalah Kemiskinan berdasarkan hasil survei dan analisis lapangan tahun 2024.
Kegiatan diseminasi ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai profil dan dinamika kemiskinan di Kabupaten Tabalong, serta membuka ruang dialog untuk menyamakan persepsi dan memperkuat kolaborasi antar-sektor. Hasil diskusi menghasilkan sejumlah kesimpulan dan arahan strategis sebagai berikut:
Pemetaan program padat karya perlu diarahkan ke rumah tangga miskin berbasis gender dan sektor kerja utama (pertanian), agar lebih efektif menyasar Perempuan kepala keluarga dan buruh tani.
Koordinasi antar SKPD sangat diperlukan untuk menyinergikan kebijakan dan anggaran intervensi pengurangan kemiskinan, khususnya yang berbasis data mikro dan spasial, dengan dukungan pemanfaatan sistem SILANGKARR.
Kebijakan pembangunan daerah harus responsif gender, dengan fokus utama pada perempuan kepala keluarga miskin di desa-desa dengan prevalensi kemiskinan tertinggi.
Paradoks antara IPM tinggi dan kemiskinan tinggi perlu dipahami secara lebih mendalam. IPM mencerminkan capaian rata-rata, bukan distribusi kesejahteraan riil. Karena itu, indikator makro tidak selalu mencerminkan realitas ekonomi kelompok rentan.
Inflasi yang rendah justru bisa menunjukkan daya beli masyarakat yang lemah, bukan peningkatan kesejahteraan. Sementara inflasi tinggi, bila tidak diikuti peningkatan pendapatan kelompok miskin, justru dapat memperburuk Tingkat kedalaman kemiskinan.
Program padat karya yang selama ini ada perlu ditinjau ulang. Banyak yang belum menyasar akar struktural kemiskinan, seperti keterbatasan akses terhadap modal, lahan, dan pasar. Intervensi ke depan perlu lebih menyentuh kelompok miskin produktif, khususnya perempuan kepala keluarga dan buruh tani musiman.
Dominasi Generasi Z dalam rumah tangga miskin (usia 12–27 tahun) menjadi sinyal penting bagi perencanaan jangka panjang. Investasi pendidikan dan keterampilan untuk kelompok ini harus diperkuat guna memutus rantai kemiskinan antar generasi.
Sektor pertanian tetap menjadi sektor utama yang potensial digarap dalam program pengurangan kemiskinan, tetapi harus disertai dengan pembaruan strategi, baik dalam bentuk padat karya maupun program bantuan usaha yang berbasis data mikro dan spasial.
Kemiskinan di Tabalong bersifat multidimensi, mencakup aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, akses sosial, hingga spiritualitas. Oleh karena itu, pendekatan multisektor dan berbasis nilai sosial sangat diperlukan.
Evaluasi program perlu dilakukan dengan pendekatan “for whom” – memastikan bahwa program benar-benar ditujukan dan berdampak pada kelompok miskin dan rentan, bukan hanya administratif.
Dinas Sosial menyampaikan bahwa Sekolah Rakyat akan dilaksanakan tahun 2026 untuk mendukung peningkatan kapasitas anak-anak dari keluarga miskin. Mereka juga tengah merancang kebijakan bantuan sosial sementara, misalnya maksimal 5 tahun, agar penerima memiliki target keluar dari kemiskinan melalui graduasi mandiri.
Dimensi spiritualitas masyarakat miskin juga menjadi perhatian. Ditemukan indikasi bahwa tekanan ekonomi dapat memengaruhi praktik keagamaan. Hal ini membuka peluang kajian lanjut tentang hubungan antara kemiskinan dan spiritualitas, termasuk pemberdayaan sosial berbasis keagamaan.
BPS menjelaskan bahwa perbedaan garis kemiskinan antar wilayah disebabkan oleh dua komponen: garis kemiskinan makanan (berdasarkan 52 komoditas utama) dan garis kemiskinan non makanan (kebutuhan dasar lainnya seperti tempat tinggal dan transportasi). Perbedaan gaya hidup dan pola konsumsi lokal sangat berpengaruh dalam penentuan angka kemiskinan.
Pemanfaatan data konsumsi rumah tangga dari BPS sangat dianjurkan untuk menyusun intervensi pangan dan nonpangan yang lebih kontekstual dan sesuai dengan realitas kebutuhan masyarakat miskin.